Assalamualaikum wr. wb.
Hari ini, Alhamdulillah saya berkesempatan mengikuti sebuah acara bernama Leaders Talk. Acara ini berlangsung di ruang multimedia, Telkom University.
Menurut saya, isinya lebih cenderung pada bedah buku yang ditulis oleh Dr. Arief Yahya, yang berjudul Great Spirit Grand Strategy. Beliau adalah Dirut PT Telkom yang telah menjabat sejak pertengahan 2012. Dalam kurun waktu 2 tahun, berhasil mencapai beberapa prestasi besar atas kepemimpinannya. Sayangnya, tepat di malam hari sebelum acara, Pak Arief mengkonfirmasi tidak dapat hadir sehingga pengampu materi digantikan oleh Pak Priyantono Rudito, Direktur HR Telkom. Dan kehadiran Betti Alisyahbana sebagai MC menjadi daya tarik tersendiri.
Buku Great Spirit Grand Strategy karya Arief Yahya. (source image : http://www.yuswohady.com)
Berdasarkan buku Great Spirit Grand Strategy, disampaikan oleh Pak Priyantono bahwa seorang pemimpin paripurna adalah seseorang yang memiliki kemampuan berpikir mikro, makro, dan mega. Dalam acara ini terdapat beberapa pembicara, salahsatunya adalah Prof. Suhaeli, dosen pembimbing Pak Arief semasa disertasi, yang menambahkan bahwa pemimpin berpikir mikro haruslah memenuhi kepuasan para stakeholder, berpikir makro artinya memenuhi kepuasan para shareholder (pemegang saham, pemilik obligasi, dll), sedangkan berpikir mega artinya memberikan manfaat bagi seluruh bangsa, bahkan (jika ingin berpikir global) manfaat yang diberikan mencakup umat manusia di seluruh dunia (rahmatan lil alamin).
Konsep 4R yang diperkenalkan dalam buku tersebut terdiri atas ruh, rasa, rasio, dan raga. Pak Priyantono mengemas konsep ini dengan menarik melalui sebuah cerita.
Ada 3 orang tukang bangunan yang sedang bekerja. Seorang bijak bertanya hal yang sama kepada ketiga tukang tersebut, “Untuk apa Bapak bekerja?”
Tukang yang pertama menjawab, “Saya bekerja untuk menghidupi keluarga saya” Jawaban ini benar, namun hanya menggunakan perspektif raga.
Tukang kedua menjawab, “Saya bekerja untuk mengaplikasikan ilmu yang saya dapat dari sekolah” Jawaban ini juga benar dan telah mencapai tahap perspektif rasio.
Tukang ketiga menjawab, “Saya bekerja untuk membuat rumah. Semoga bangunan ini menjadi bagian dari kebudayaan terbaik yang dimiliki bangsa ini.” Jawaban ini tipikal
lebay, hahaha, maaf. Ini sungguh jawaban yang baik, sodara2. Si tukang kayu memiliki pandangan jangka panjang dan menyeluruh sehingga telah mencapai perspektif ruh.
Bekerja tidak hanya memiliki nilai materi jika dilandasi oleh niat yang lebih tinggi. Misalnya, beribadah. Dengan keyakinan masing-masing si tukang kayu, bukan tidak mungkin jika tujuan mereka semua tercapai. Maka benarlah pernyataan ‘apa yang kita pinta maka itulah yang kita dapat’. Sesuai dengan firman Allah dalam surat Al Ghafir: 60.
“Berdoalah kepadaKu. Maka akan Aku perkenankan bagimu..” (source: http://aynarazaly.blogspot.com)
Selain Prof. Suhaeli, diskusi dalam forum ini diramaikan juga oleh Pak Husni Amani, Pak Jafar Sembiring, dan Pak Erda Guslinar (mohon maaf, yang teringat nama dosen di lingkungan Tel-U saja, saya tidak hapal pihak lain yang mewakili praktisi). Ide lain yang diangkat adalah ‘mencapai goal melalui strategi berawal dari akhir‘.
Strategi tersebut terdengar sederhana. Misal, kita merencanakan tiba di Bandung sore hari ini dari Cikampek. Maka yang perlu diketahui pertama kali ialah, berapa lama tepatnya kita ingin tiba/berakhir di Bandung? Jika sudah tahu bahwa ingin tiba dalam waktu 2 jam, artinya tujuan kita sudah hampir berhasil karena telah mengetahui keinginan akhir (2 jam bandung-cikampek). Langkah selanjutnya adalah menghitung jarak cikampek-bandung dibagi waktu tempuh.
Jarak cikampek-bandung (s) = 80 km
Waktu yang diharapkan (t) = 2 jam
Kecepatan = s/t = 80 km / 2 jam = 40 km/jam
Artinya, kita harus mengendarai kendaraan dengan kecepatan 40 km/jam untuk mencapai tujuan tersebut. Memang sederhana, bukan?
Contoh lain yang menggunakan mekanisme strategi berawal dari akhir ialah: merumuskan tujuan hidup. Jika dari awal sudah di-setting bahwa tujuan akhir kita adalah akhirat, maka segala sesuatu yang kita kerjakan akan berlandasan pada kebajikan di alam kekal. Tak perlu takut rugi dengan konsep tersebut, bagi kita yang beragama islam, orientasi pada negeri akhirat justru akan mendatangkan pantulan kebaikan pada kehidupan di dunia, selaras dengan firman Allah pada surat Muhammad: 7.
“Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (source: http://www.al-quran.asia)
Pola pikir berawal dari akhir bisa menggolongkan kita pada kalimat familiar berikut (mohon maaf saya tidak tahu betul ini pepatah arab atau hadist) ‘Manusia yang pandai adalah manusia yang mengingat kematian’. hehehe. Seluruh aktivitas yang dijalani hendaknya berlandaskan pada tujuan jangka panjang dan strategi berawal dari akhir, tentu dengan cara-cara pencapaian yang manusiawi. Pak Erda sih bilangnya,
We as human, so act like human, think like human, and behaviour like human.
Yap, sodara-sodara, itulah sedikit materi yang saya tangkap dari Leaders Talk. Bagi saya acaranya cukup baik, selain karena materinya yang menarik, juga karena cinderamata yang menurut saya berkesan eksklusif (buku sang penulis disertai kotak hitam yang berisi jam meja dan flasdisk berbahan kulit).
Semoga bermanfaat untuk teman-teman yang membaca.
Wassalamualaikum wr. wb.
~*~
Riezka Amalia Faoziah
Tulisan keren. Salam kenal.
Terima kasih.. Semoga bermanfaat..
Nice resume… (y)
*Catatan
Teteh.. pembicaranya pa Priyantono Rudityo, bukan Prayitno. :)
Sudah dibetulkan. Makasih, Kang Ady.
Awalnya sudah benar ko, cuma kepleset sedikit di tengah-tengah. haha.
cerita nya sangat menarik say suka
,,,,,:)
maaf… kok ada surat Al-Ghofir… ud’uni astajib lakum sepertinya surat al mukminun